Surat Balasan Untuk Trian - AADC 2

Surat Balasan Untuk Trian - AADC 2 

Surat Balasan Untuk Trian - AADC 2


Film drama Ada Apa Dengan Cinta 2 bercerita tentang bagaimana kelanjutan kehidupan para pemain Ada Apa Dengan Cinta setelah tidak bertemu selama lebih dari sepuluh tahun dan juga bercerita tentang cinta segitiga yang terjalin antara Rangga, Cinta dan Trian. Kami telah menghadirkan Surat Permintaan Maaf dari Cinta untuk Trian, Surat Trian untuk Cinta, maka kami merasa akan terasa tidak lengkap jika kami tidak menghadirkan Surat balasan untuk Trian versi Rangga. Perlu kami tegaskan sekali lagi bahwa surat-surat ini bersifat fiktif dan hanya merupakan imajinasi para penggemar dan atau beberapa orang. Pada kesempatan kali ini kami menghadirkan sebuah surat tanpa mengurangi kesan diri Rangga yang tertanam di banyak hati para netizen.

Sosok Rangga merupakan sosok yang misterius, cool, dan sulit dipahami. Kali ini kami merasa bahwa akan sulit untuk menemukan tipe-tipe surat yang sesuai dengan tipenya. Akhirnya kami mendapatkan hasil wawancara rekan reporter yang dibuat geregetan, gelisah dan murung sehingga rela melakukan wawancara dengan Meja Kerja Rangga di tempat tinggalnya, New York. Kami mendapatkan surat yang ditulis oleh Meja Kerja Rangga dari salah satu artikel fiksiminimagz.Berikut ini adalah isi surat tersebut.

Dear Trian,

Karena Rangga tak kunjung membalas suratmu, biar aku yang melakukannya.

Aku, sebuah meja yang penuh buku, surat-surat cinta yang gagal dikirim, noda kopi, dan tinta, jelas paling memahami perasaan Rangga. Seperti pernah kubaca dari sebuah novel yang aku lupa judulnya, untuk memahami seseorang, kamu harus lebih dulu meresap hingga ke sum-sum tulangnya. Maka bagiku, suratmu untuk Cinta cuma mewakili perasaan orang yang merasa disakiti oleh kebahagiaan orang lain. Atau kasarnya, cuma kata hati seorang putus asa dan kekanak-kanakan.

Tak secuil pun kamu memahami Rangga. Bagaimana nasib menjadikannya lelaki rumit yang hidup penuh pertanyaan; soal Ibu, cinta, mimpi, dan keputusan-keputusan yang tak adil. Aku pikir, itulah yang membuatnya punya kemiripan dengan Soe Hok Gie, dan seorang lelaki pengantar roll film bernama Joni.

Aku adalah saksi bagaimana ratusan purnama Rangga berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa keputusannya meninggalkan Cinta lantaran untuk kebahagiaan perempuan itu. Dia berusaha yakin bahwa keputusannya tersebut benar. Dan, apa yang lebih menyakitkan sekaligus puitis daripada seorang yang berusaha meyakini kebenaran yang tak sepenuhnya ia yakini? Mungkin, tak sedikit pun orang sepertimu bisa memahaminya.

Next,

Rangga memang tidak punya teman-teman dan koneksi bisnis seperti yang kamu ungkapkan dalam suratmu. Tetapi, percayalah, Kawan, tak akan pernah selintas pun terbersit di pikiran Rangga dan Cinta hal semacam itu. Aku yakin, mereka lebih suka membiarkan anak-anak mereka tumbuh dengan pilihan-pilihannya sendiri. Dan, bagi Rangga, tugas terberat orangtua adalah bagaimana membiarkan anak menjadi yang terbaik sebagai dirinya sendiri. Ingat, Kawan, anak bukan kertas putih dan bisa jadi koneksi bisnismu hanya goresan yang merusak kisah di dalamnya. Maka, aku sedikit lega atas keputusan Cinta meninggalkanmu. Aku yakin, Cinta tak akan bahagia jika berada dalam rumah tangga dengan benih ‘kedikatoran’.

Trian, penjudiku yang malang, soal pernikahan juga bukan cuma mampir di kepalamu saja. Rangga sudah merencanakannya jauh hari, hampir seratus purnama, sebelum kamu datang ke hidup Cinta dan seolah-olah menyelematkannya. Satu hal yang mesti kamu catat, Trian, menjauhkan seseorang dari cintanya bukanlah tindakan heroik yang patut dibanggakan. Maka, kata ‘menyelamatkan’ terdengar terlalu mengada-ada.
Rangga sudah merencanakan pernikahan dengan Cinta. Pernikahan yang manis di atap gedung yang tak terlampau tinggi di Jakarta. Dekorasinya sederhana. Lampion berwarna biru dan merah muda, lampu bohlam, karpet rumput sintetis, serta meja dan kursi kayu. Di sana, mereka akan mengundang keluarga dekat, para sahabat, juga beberapa penulis yang Rangga kenal. Mungkin, aku juga akan diajak dan berangkat lewat jasa ekspedisi.

Hari itu bakal jadi pernikahan sederhana yang tak akan dilupakan siapa pun yang datang. Semua bebas mengambil microphone, bernyanyi, membaca puisi, atau sekadar menyatakan kesan kepada kedua mempelai. Pernikahan yang bakal membuat cinta senyum setiap mengingatnya itu, Trian, jauh dari kepala ‘pebisnismu’ yang, barangkali, menganggap pesta pernikahan hanyalah momen bermewah-mewah dan menunjukkan keberhasilan. Kamu tahu, salah satu kesalahan pernikahan adalah ketika kita sibuk memikirkan apa yang di pikirkan tamu undangan. Itu yang membuat pernikahan jadi kaku, sekadar seremonial, dan tak meninggalkan kesan.

Trianku yang menyedihkan, kamu juga salah ketika mengatakan bahwa puisi-puisi Rangga adalah mantra penyair urakan. Pertanyaanku cuma satu, apa yang kamu pahami soal puisi dan penyair? Apakah kamu pikir puisi hanyalah kata-kata puitis untuk gombal belaka? Apakah penyair selalu urakan? Kamu salah, Bocah Besar. Karena puisi-puisi Rangga lahir dari kejujuran dan kegelisahan yang menemukan daya ungkap lewat bahasa, dan Rangga bukan seorang urakan. Dia tahu aturan, tetapi siapa yang bisa tertib dalam urusan mencintai?

Satu lagi, Trian. Waktu Cinta ke New York dan mengobrol dengan Rangga di apartemennya, aku mendengar bahwa perempuan itu hendak mengembalikan bangunan yang kamu pinjamkan. Tak masalah, kata Cinta, sebab dia akan menyewa kios kecil di pinggiran kota yang tenang dan bisa membuatnya fokus kerja. Jadi, ambillah apa yang jadi milikmu, dan buatlah jadi monumen patah hatimu. Supaya setiap kamu melihatnya, kamu sadar pernah tidak dewasa dalam urusan mencintai. Atau kamu sebenarnya tak paham, Kawan, seperti yang pernah ditulis Aan Mansyur, Kawan Rangga, bahwa jatuh cinta dan mencintai adalah persoalan berbeda? Beli bukunya, Kawan.

Terakhir, aku harap kamu tak kalah judi di Macau, supaya kamu tetap kaya, tak ditinggalkan teman-teman dan koneksi bisnismu, bisa menikah di Balai Sarbini dengan perempuan lain, dan tidak membeli buku Aan Mansyur yang bajakan—jika kamu berminat.

Salam hangat dari salah satu haters-mu,

MKR (Meja Kerja Rangga). (*)









Previous
Next Post »